Halaman Awal

Halaman Awal

Senin, 28 Oktober 2013

BUDAYA DEMOKRASI MENUJU MASYARAKAT MADANI

DEMOKRASI
Demokrasi yang menurut asal kata berarti rakyat berkuasa atau government by the people. Dalam bahasa Yunani, demos berarti rakyat, kratos/kratein berarti kekuasaan/berkuasa.

Demokrasi berasal dari Eropa, tetapi sesudah PD II (Perang Dunia II/World War 2nd) didukung oleh beberapa Negara baru di Asia. Pakistan, Filipinan dan Indonesia mencita-citakan demokrasi konstitusional, sekalipun terdapat bermacam-macam bentuk pemerintahan. Di lain pihak ada Negara-negara baru di Asia yang mendasarkan diri atas asas-asas komunisme, yaitu China, Korea Utara dsb.

Demokrasi yang dianut di Indonesia, yaitu demokrasi Pancasila. Corak khas demokrasi Indonesia, yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah/kebijaksanaan dalam permusyawartan perwakilan.



Demokrasi Konstitusional
Ciri khas dari demokrasi konstitusional ialah gagasan bahwa pemerintahan yang demokratis adalah pemerintahan yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya.  Pembatasan-pembatasan atas kekuasaan pemerintah tercantum dalam konstitusi; maka dari itu sering disebut pemerintah berdasarkan konstitusi (constitutional government). jadi, constitutional government sama dengan limited government atau restrained government.

Ahli sejarah Inggris, Lord Acton mengemukakan gagasan bahwa: “Manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan tak terbatas pasti akan menyalahgunakannya secara tak terbatas pula” (Power tends corrupt, but absolute power corrupts absolutely).

Demokrasi konstitusional muncul akhir abad ke-19. Pembatasan atas kekuasaan Negara diselenggarakan dengan suatu konstitusi tertulis, yang dengan tegas menjamin hak-hak asasi dari warga Negara. Di samping itu, kekuasaan dibagi sedemikian rupa sehingga kesempatan penaylahgunaan diperkecil, yaitu dengan cara menyerahkannya kepada beberapa orang atau badan dan tidak memusatkan kekuasaan pemerintahan dalam tangan satu orang atau satu badan. Perumusan yuridis dari prinsip-prinsip ini terkenal dengan istilah Negara Hukum (Rechstaat) atau Rule of Law.

Dalam abad ke-20, demokrasi berkembang tidak hanya terbatas pada tugas Negara dalam mengurus kepentingan bersama saja, akan tetapi Negara harus turut bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyat dank arena itu harus aktif berusaha untuk menaikkan taraf kehidupan warga negaranya. Gagasan ini dituang dalam konsep Negara Kesejahteraan (Welfare State) atau Social Service State.


Sejarah Perkembangan Demokrasi
Gagasan mengenai demokrasi berasal dari Yunani Kuno. System demokrasi yang terdapat di Negara-kota (city-state) Yunani Kuno (abad ke-6 – ke-3 SM), merupakan demokrasi langsung (direct democracy), yaitu suatu bentuk pemerintahan dimana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga Negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. Sifat langsung dari demokrasi Yunani dapat diselenggarakan secara efektif karena berlangsung dalam kondisi sederhana, wilayahnya terbatas (Negara terdiri dari kota dan daerah sekitarnya) serta jumlah penduduk sedikit (300.0000 penduduk dalam satu Negara kota). Lagi pula, ketentuan-ketentuan demokrasi hanya berlaku untuk warga Negara yang resmi, yang hanya merupakan bagian kecil saja dari penduduk. Untuk mayoritas yang terdiri atas budak belian dan pedagang asing demokrasi tidak berlaku.

Dalam Negara modern demokrasi berdasarkan perwakilan (representative democracy).

Demokrasi Yunani hilang dari dunia Barat saat memasuki abad pertengahan (600-1400 M). Masyarakat Abad Pertengahan dicirikan oleh struktur sosial yang feudal (hubungan antara vassal dan lord); yang kehidupan sosial serta spiritualnya dikuasai oleh Paus dan pejabat agama lainnya, dan perebutan kekuasaan antar bangsawan. Pada tahun 1215 dibuat Magna Charta (Piagam Besar) yang merupakan semi kontrak antara beberapa bangsawan dan John dari Inggris di mana untuk peprtama kalinya seorang raja mengikatkan diri untuk mengakui dan menjamin beberapa hak privileges dari bawahannya sebagai imbalan untuk penyerahan dana keperluan perang dan sebagainya. Tapi ini tidak berlaku untuk rakyat jelata. Magna Charta dianggap sebagai tonggak dalam perkembangan demokrasi.

Tahun 1350-1600 M adalah era Renaisance dimana ini merupakan era menghidupkan kembali minat kepada kesusastraan dan kebudayaan Yunani Kuno yang selama Abad Pertengahan telah disisihkan. Hasil dari pergumulan ide ini ialah timbulnya gagasan mengenai perlunya ada kebebasan beragama serta ada garis pemisah yang tegas antara soal-soal agama dan soal-soal keduniawian, khususnya di bidang pemerintahan.

Dari Renaisance bangsa Eropa memasuki masa Aufklarung (Abad Pemikiran) beserta Rasionalisme, suatu aliran pikiran yang ingin memerdekakan pikiran manusia dari batas-batas yang ditentukan oleg Gereja dan mendasarkan pemikiran atas akal (ratio) belaka. Dan dari sini tahta monarki absolute mulai goyah dengan adanya teori kontrak sosial. Filsuf yang mencetuskan gagasan ini antara lain John Locke dari Inggris (1632-1704) dan Montesquieu dari Prancis (1689-1755).

Menurut John Locke hak-hak politik mencakup hak atas hidup, hak atas kebebasan dan hak untuk mempunyai milik (life, liberty, and property). Montesquieu menyusun suatu system yang dapat menjamin hak-hak politik dengan istilah Trias Politika. Ide-ide bahwa manusia mempunyai hak-hak politik menimbulkan revolusi Prancis pada akhir abad ke-18, serta revolusi Amerika melawan Inggris.

Sebagai akibat dari pergolakan tersebut, maka pada akhir abad ke-19, gagasan mengenai demokrasi mendapat wujud yang konkret sebagai program dan system politik. Demokrasi pada tahap ini semata-mata bersifat politis dan mendasarkan dirinya atas asas-asas kemerdekaan indiividu, kesamaan hak (equal rights), serta hak pilih untuk semua warga Negara (universal suffrage).

Tidak ada komentar: