Halaman Awal

Halaman Awal

Selasa, 29 Oktober 2013

MACAM-MACAM DAN PRINSIP DEMOKRASI

MACAM-MACAM DEMOKRASI

Berdasarkan titik berat perhatiannya
  1. Demokrasi formal; yaitu suatu demokrasi yang menjunjung tinggi persamaan dalam bidang politik, tanpa disetai upaya untuk mengurangi atau menghilangkan kesenjangan dalam bidang ekonomi. Bentuk demokrasi ini dianut oleh Negara-negara liberal.
  2. Demokrasi material, yaitu demokrasi yang dititikberatkan pada upaya menghilangkan perbedaan dalam bidang ekonomi, sedangkan persamaan dalam bidang politik kurang diperhatikan bahkan terkadang dihilangkan. Bentuk demokrasi ini dianut oleh Negara-negara komunis.
  3. Demokrasi gabungan, bentuk demokrasi ini dianut oleh Negara-negara non-blok.



Berdasarkan Ideology
  1. Demokrasi konstitusional
  2. Demokrasi rakyat atau demokrasi proletar, yaitu demokrasi yang didasarkan pada paham marxisme-komunisme. Demokrasi rakyat mencita-citakan kehidupan yang tidak mengenal kelas sosial.


Berdasarkan proses penyaluran kehendak rakyat
  1. Demokrasi langsung
  2. Demokrasi tidak langsung atau demokrasi perwakilan



PRINSIP-PRINSIP BUDAYA DEMOKRASI

Henry B. Mayo mengungkapan prinsip dari demokrasi adalah sebagai berikut:
  1. Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara melembaga
  2. Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang akan berubah
  3. Menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur
  4. Membatasi pemakaian kekerasan sampai minimum
  5. Mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman
  6. Menjamin tegaknya keadilan


Asykuri Ibnu Chamim berpendapat bahwa demokrasi harus memiliki prinsip sebagai berikut:
  1. Kebebasan menyatakan pendapat
  2. Kebebasan berkelompok
  3. Kebebasan berpartisipasi
  4. Kebebasan antarwarga
  5. Kesetaraan gender
  6. Kedaulatan rakyat
  7. Rasa saling percaya
  8. Kerja sama


GELOMBANG DEMOKRASI

Layaknya sebuah gelombang, perkembangan demokrasi mengalami pasang surut. Robert Dahl memperkenalkan konsep gelombang demokrasi ini ke dalam dua jenis, yaitu:

a. Gelombang Demokrasi Pertama (Demokrasi Klasik): Konsep Negara Kota Athena
Sistem demokrasi pertama kali dimunculkan oleh kaum demokrat di Negara kota Athena, ermasuk dalam wilayah peradaban Yunani Kuno. Chleisthenes dan Pericles adalah tokoh demokrasi Athena. Yang mewarnai kehidupan politik Yunani pada beberapa abad sebelum masehi adalah kediktatoran, tirani atau oligarki, baik sipil maupun militer. System demokrasi pada umumnya ditentang oleh para filsuf pada waktu itu, dan Plato secara terang-terangan menunjukkan sikap anti demokrasi, karena guru yang paling dicintainya, Socrates, tewas dihukum mati oleh rezim demokrasi.

Socrates (469 – 399 SM) adalah filsuf dari Athena, Yunani dan merupakan salah satu figus paling penting dalam tradisi filosofi Barat. Socrates lahir di Athena, dan merupakan generasi pertama dari tiga ahli filsafat besar Yunani, yaitu Socrates, Plato, dan Aristoteles.

Musim semi 339 SM, Socrates divonis mati oleh penguasa Athena. Wafat di usia 70 tahun dengan cara meminum racun sebagaimana keputusan yang diterimanya dari pengadilan dengan hasil voting 280 mendukung hukuman mati dan 220 menolaknya. Mereka menuduh Socrates ingkar kepada dewa-dewa, memperkenalkan agama baru dan merusak jiwa kaum muda. Socrates dengan tenangnya berkata kepada muridnya: “Sepanjang masih bisa bernafas dam berpikir, diriku tidak akan pernah berhenti mengamalkan filsafat, mendesakkannya padamu dan menjelaskan kebenaran bagi setiap orang yang kutemui…jadi entah…membebaskanku atau tidak, kalian pasti tahu bahwa sikapku tidak akan berubah… bahkan, tidak juga seandainya aku harus menjalani seribu kematian”.



Demokrasi Athena runtuh saat Negara Sparta yang otoriter berhasil mengalahkan Athena dalam perang Pelonnesia yang berlangsung selama 27 tahun (431-404 SM). Alasan utama terjadinya perang ini adalah disebabkan ketakutan Sparta akan kekuasaan Athena yang tumbuh kuat dan ekonomi yang makmur.

Namun, demokrasi ala Athena menjadi acuan perkembangan selanjutnya. Dalam pandangan Amien Rais, ada empat prinsip operasional yang cukup menarik dalam system demokrasi Athena, yaitu:
  1. Para warga Negara sendiri yang langsung membuat keputusan politik dan langsung mengawasinya. Warga Negara kota Athena bukan hanya mempengaruhi, tetapi juga memiliki kekuasaan untuk membuat keputusan-keputusan politik. Karena konsep demokrasi yang diusung adalah demokrasi langsung.
  2. Terdapat persamaan hokum dan politik bagi semua warga Negara dalam hal memberikan suara pada berbagai isu dalam dialog terbuka dan dalam hak untuk menduudki jabatan pemerintahan. Di samping itu, seorang pejabat tidak diperbolehkan menduduki jabatannya terlalu lama.
  3. Kebebasan politik dan kewarganegaraan dijamin sepenunya. Kebebasan berpendapat merupakan cirri penting dalam dewan dan majelis Athena. Kritikan-kritikan dibiarkan bebas, sebagaimana yang dilakukan Plato yang mengkritik keras terhadap system demokrasi.
  4. Dalam proses pengambilan keputusan, bila semua argument telah dipaparkan, pemungutan suara baru dilakukan.


b. Gelombang Demokrasi Kedua (Demokrasi Modern): Negara Bangsa
Gerakan demokrasi modern disebabkan oleh adanya dua peristiwa sebelumnya. Pertama, yaitu adanya perluasan system politik demokrasi di Yunani ke berbagai wilayah yang ada di sekitarnya. Kedua, renaissance di abad pertengahan dan perjuangan nilai-nilai asasi manusia. Menurut Robert Dahl, terdapat delapan akibat dari adanya gelombang demokrasi ke dua ini, yaitu: 
  1. Sistem Perwakilan
  2. Perluasan demokrasi yang tidak terbatas; satu orang wakil rakyat akan memiliki kantitas terwkili yang berbeda antara satu Negara dengan Negara lain.
  3. Demokrasi partisipasi; teknologi modern merupakan salah satu alat yang mempengaruhi perilaku politik suatu bangsa. Maka dengan demikian akan lahir budaya partisipasi politik yang beraneka ragam dari masyarakat.
  4. Keanekaragaman; saat ini para penduduk semakin memperlihatkan keanekaragaman dalam hal yang ada hubungannya dengan kehidupan politik. Sulit sekali menemukan komunitas masyarakat yang anggotanya mempunyai perilaku yang sama dan sejenis.
  5. Konflik vertical maupun horizontal
  6. Poliarki; upaya untuk mendemokrasikan dan meliberalkan lembaga-lembaga politik Negara bangsa.
  7. Pluralisme sosial dan organisasional; akibat dari poliarki menimbulkan semakin banyaknya kelompok dan organisasi sosial yang relative lebih bersifat otonom
  8. Perluasan hak-hak pribadi



Senin, 28 Oktober 2013

BUDAYA DEMOKRASI MENUJU MASYARAKAT MADANI

DEMOKRASI
Demokrasi yang menurut asal kata berarti rakyat berkuasa atau government by the people. Dalam bahasa Yunani, demos berarti rakyat, kratos/kratein berarti kekuasaan/berkuasa.

Demokrasi berasal dari Eropa, tetapi sesudah PD II (Perang Dunia II/World War 2nd) didukung oleh beberapa Negara baru di Asia. Pakistan, Filipinan dan Indonesia mencita-citakan demokrasi konstitusional, sekalipun terdapat bermacam-macam bentuk pemerintahan. Di lain pihak ada Negara-negara baru di Asia yang mendasarkan diri atas asas-asas komunisme, yaitu China, Korea Utara dsb.

Demokrasi yang dianut di Indonesia, yaitu demokrasi Pancasila. Corak khas demokrasi Indonesia, yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah/kebijaksanaan dalam permusyawartan perwakilan.



Demokrasi Konstitusional
Ciri khas dari demokrasi konstitusional ialah gagasan bahwa pemerintahan yang demokratis adalah pemerintahan yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya.  Pembatasan-pembatasan atas kekuasaan pemerintah tercantum dalam konstitusi; maka dari itu sering disebut pemerintah berdasarkan konstitusi (constitutional government). jadi, constitutional government sama dengan limited government atau restrained government.

Ahli sejarah Inggris, Lord Acton mengemukakan gagasan bahwa: “Manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan tak terbatas pasti akan menyalahgunakannya secara tak terbatas pula” (Power tends corrupt, but absolute power corrupts absolutely).

Demokrasi konstitusional muncul akhir abad ke-19. Pembatasan atas kekuasaan Negara diselenggarakan dengan suatu konstitusi tertulis, yang dengan tegas menjamin hak-hak asasi dari warga Negara. Di samping itu, kekuasaan dibagi sedemikian rupa sehingga kesempatan penaylahgunaan diperkecil, yaitu dengan cara menyerahkannya kepada beberapa orang atau badan dan tidak memusatkan kekuasaan pemerintahan dalam tangan satu orang atau satu badan. Perumusan yuridis dari prinsip-prinsip ini terkenal dengan istilah Negara Hukum (Rechstaat) atau Rule of Law.

Dalam abad ke-20, demokrasi berkembang tidak hanya terbatas pada tugas Negara dalam mengurus kepentingan bersama saja, akan tetapi Negara harus turut bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyat dank arena itu harus aktif berusaha untuk menaikkan taraf kehidupan warga negaranya. Gagasan ini dituang dalam konsep Negara Kesejahteraan (Welfare State) atau Social Service State.


Sejarah Perkembangan Demokrasi
Gagasan mengenai demokrasi berasal dari Yunani Kuno. System demokrasi yang terdapat di Negara-kota (city-state) Yunani Kuno (abad ke-6 – ke-3 SM), merupakan demokrasi langsung (direct democracy), yaitu suatu bentuk pemerintahan dimana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga Negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. Sifat langsung dari demokrasi Yunani dapat diselenggarakan secara efektif karena berlangsung dalam kondisi sederhana, wilayahnya terbatas (Negara terdiri dari kota dan daerah sekitarnya) serta jumlah penduduk sedikit (300.0000 penduduk dalam satu Negara kota). Lagi pula, ketentuan-ketentuan demokrasi hanya berlaku untuk warga Negara yang resmi, yang hanya merupakan bagian kecil saja dari penduduk. Untuk mayoritas yang terdiri atas budak belian dan pedagang asing demokrasi tidak berlaku.

Dalam Negara modern demokrasi berdasarkan perwakilan (representative democracy).

Demokrasi Yunani hilang dari dunia Barat saat memasuki abad pertengahan (600-1400 M). Masyarakat Abad Pertengahan dicirikan oleh struktur sosial yang feudal (hubungan antara vassal dan lord); yang kehidupan sosial serta spiritualnya dikuasai oleh Paus dan pejabat agama lainnya, dan perebutan kekuasaan antar bangsawan. Pada tahun 1215 dibuat Magna Charta (Piagam Besar) yang merupakan semi kontrak antara beberapa bangsawan dan John dari Inggris di mana untuk peprtama kalinya seorang raja mengikatkan diri untuk mengakui dan menjamin beberapa hak privileges dari bawahannya sebagai imbalan untuk penyerahan dana keperluan perang dan sebagainya. Tapi ini tidak berlaku untuk rakyat jelata. Magna Charta dianggap sebagai tonggak dalam perkembangan demokrasi.

Tahun 1350-1600 M adalah era Renaisance dimana ini merupakan era menghidupkan kembali minat kepada kesusastraan dan kebudayaan Yunani Kuno yang selama Abad Pertengahan telah disisihkan. Hasil dari pergumulan ide ini ialah timbulnya gagasan mengenai perlunya ada kebebasan beragama serta ada garis pemisah yang tegas antara soal-soal agama dan soal-soal keduniawian, khususnya di bidang pemerintahan.

Dari Renaisance bangsa Eropa memasuki masa Aufklarung (Abad Pemikiran) beserta Rasionalisme, suatu aliran pikiran yang ingin memerdekakan pikiran manusia dari batas-batas yang ditentukan oleg Gereja dan mendasarkan pemikiran atas akal (ratio) belaka. Dan dari sini tahta monarki absolute mulai goyah dengan adanya teori kontrak sosial. Filsuf yang mencetuskan gagasan ini antara lain John Locke dari Inggris (1632-1704) dan Montesquieu dari Prancis (1689-1755).

Menurut John Locke hak-hak politik mencakup hak atas hidup, hak atas kebebasan dan hak untuk mempunyai milik (life, liberty, and property). Montesquieu menyusun suatu system yang dapat menjamin hak-hak politik dengan istilah Trias Politika. Ide-ide bahwa manusia mempunyai hak-hak politik menimbulkan revolusi Prancis pada akhir abad ke-18, serta revolusi Amerika melawan Inggris.

Sebagai akibat dari pergolakan tersebut, maka pada akhir abad ke-19, gagasan mengenai demokrasi mendapat wujud yang konkret sebagai program dan system politik. Demokrasi pada tahap ini semata-mata bersifat politis dan mendasarkan dirinya atas asas-asas kemerdekaan indiividu, kesamaan hak (equal rights), serta hak pilih untuk semua warga Negara (universal suffrage).

Senin, 23 September 2013

BUDAYA POLITIK PARTISIPAN

Dari ketiga tipe budaya politik yang telah diuraikan sebelumnya, budaya politik partisipan mempunyai pengaruh yang teramat penting dalam pembangunan suatu bangsa di zaman seperti sekarang ini. Budaya politik partisipan merupakan tipe budaya politik dimana dalam budaya politik ini rakyat dapat mengevaluasi yang ditandai dengan dimilikinya kemampuan rakyat dalam menilai dan mengontrol semua kebijakan dari pemegang kekuasaan.
Partisipasi politik secara umum berarti keterlibatan seseorang/sekelompok orang dalam kegiatan politik.
Miriam Budiardjo mendefinisikan partisipasi politik sebagai kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dakan kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan Negara secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy).
Herbert McClosky, mengungkapkan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum.
Michael Rush dan Phillip Althoff, mengatakan bahwa partisipasi politik ialah keterlibatan individu sampai pada bermacam-macam tingkatan dalam system politik.
Menurut Samuel Huntington dan Joan M. Nelson, mengidentifikasi lima bentuk  partisipasi politik, yaitu:
  1. Kegiatan pemilihan, yang mencakup memberikan suara, sumbangan untuk kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, mencari dukungan bagi seorang calon, atau melakukan tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil pemilihan.
  2. Lobbying, yaitu upaya-upaya perorangan atau kelompok untuk menghubungi pejabat pemerintah dan pemimpin politik dengan maksud untuk mempengaruhi keputusan mereka mengenai persoalan  yang menyangkut banyak orang. Misalnya lobbying yang dilakukan anggota DPR, atau yang dilakukan tokoh masyarakat kepada pemerintah untuk mempercepat proses pembangunan di daerahnya.
  3. Kegiatan organisasi, yang menyangkut partisipasi sebagai anggota atau pejabat dalam organisasi dengan tujuan utamanya untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan pemerintah.
  4. Mencari koneksi, yaitu tindakan perorangan yang ditujukan terhadap pejabat-pejabat pemerintah biasanya dengan maksud memperoleh manfaat yang hanya dirasakan oleh sat orang atau beberapa orang saja.
Tindakan kekerasan, yaitu upaya untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang dilakukan pemerintah dengan jalan menimbulkan kerugian fisik terhadap pejabat pemerintahan atau harta benda. Kekerasan dapat ditujukan untuk mengubah pimpinan politik (dalam bentuk kudeta atau pembunuhan), mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah (dalam bentuk huru hara dan pemberontakan), atau mengubah seluruh system politik (dalam bentuk revolusi). Kekerasan hanya dilakukan setelah tertutupnya kesempatan berpartisipasi politik secara damai. 


Pengelompokkan hubungan hierarkis dari Rush dan Althoff hampir sama dengan piramida partisipasi politik yang dikemukakan David F. Rot dan Frank L. Wilson. Adapun bentuk piramida partisipasi politik adalah sebagai berikut:


Anggota masyarakat yang berpartisipasi dalam proses politik, misalnya melalui pemberian suara atau kegiatan lain, terdorong oleh keyakinan bahwa melalui kegiatan bersama itu kepentingan mereka akan tersalur atau sekurang-kurangnya diperhatikan, dan bahwa mereka sedikit banyak dapat mempengaruhi tindakan dari mereka yang berwenang untuk membuat keputusan yang mengikat. Dengan kata lain, mereka percaya bahwa kegiatan mereka mempunyai efek politik (political efficacy).

Dari penjelasan tersebut, jelaslah bahwa partisipasi politik erat sekali kaitannya dengan kesadaran politik, karena semakin sadar bahwa dirinya diperintah, orang kemudian menuntut diberikan hak suara dalam penyelenggaraan pemerintah. perasaan kesadaran seperti ini dimulai dari orang yang berpendidikan, yang kehidupannya lebih baik, dan orang-orang terkemuka. Pada mulanya di Eropa hanya elit masyarakat saja yang diwakili di dalam perwakilan. Di Amerika, perempuan bari mempunyai hak suara setelah adanya Amandemen ke-19 pada tahun 1920. Tetapi perlahan-lahan keinginan untuk berpartisipasi menjangkau semua sektor masyarakat –laki-laki dan perempuan- dan merek menuntun hak untuk bersuara.

Di negara-negara demokrasi umumnya dianggap bahwa lebih banyak partisipasi masyarakat, lebih baik. Dalam alam pikiran ini tingginya tingkat partisipasi menunjukkan bahwa wargan mengikuti dan memahami masalah politik dan ingin melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan itu. Hal itu juga menunjukkan bahwa rezim yang bersangkutan memiliki kadar keabsahan (legitimacy) yang tinggi. Maka dari itu, pembatasan yang dimasa lalu sering diberlakukan, seperti pembayaran pajakpemilihan (yang di Amerika Serikat pada masa itu merupakan suatu tindakan efektif untuk membatasi partisipasi orang kulit hitam), atau pemilihan hanya oleh kaum pria saja (perempuan swiss baru mulai tahun 1972 diberi hak pilih), dewasa ini umumnya telah ditinggalkan.

Sebaliknya, tingkat partisipasi yang rendah pada umumnya dianggap sebagai tanda yang kurang baik, karena dapat ditafsirkan bahwa banyak warga tidak menaruh perhatian terhadap masalah kenegaraan. Lagi pula dikhawatirkan bahwa jika pelbagai pendapat dalam masyarakat tidak dikemukakan, pimpinan Negara akan kurang tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat, dan cenderung melayani kepentingan beberapa kelompok saja. Pada umumnya partisipasi yang rendah dianggap menunjukkan legitimasi yang rendah pula.

Menurut Herbert McClosky, Gabriel Almond, Norman H. Nie dan Sidney Verba berpendapat bahwa partisipasi politik hanya terbatas pada kegiatan sukarela saja, yaitu kegiatan yang dilakukan yang tanpa paksaan atau tekanan dari siapa pun.

Kebanyakan di Negara komunis dan Negara berkembang sulit sekali untuk membedakan antara kegiatan yang benar-benar sukarela dan kegiatan yang dipaksakan secara terselubung, baik oleh penguasa maupun oleh kelompok lain. Menurut Huntington dan Nelson membedakan antara partisipasi yang bersifat otonom (autonomous participation) dan partisipasi yang dimobilisasi atau dikerahkan oleh pihak lain (mobilized participation/regimented participation).

Dalam hubungan ini mungkin dapat dikatakan bahwa dalam hampir setiap kegiatan partisipasi ada unsure tekanan atau manipulasi, akan tetapi di Negara-negara demokrasi Barat tekanan semacam ini jauh lebih sedikit disbanding dengan di Negara-negara otoriter. Di Negara-negara berkembang terdapat kombinasi dari unsure sukarela dan unsure manipulasi dengan berbagai bobot dan takaran.

Ada pula pendapat bahwa partisipasi politik hanya mencakup kegiatan yang bersifat positif. Akan tetapi Huntington dan Nelson menganggap bahwa kegiatan yang ada unsure destruktifnya seperti demonstasi, terror, pembunuhanpolitik, dan lain-lain merupakan suatu bentuk partisipasi.

Di samping mereka yang ikut serta dalam satu atau lebih bentuk partisipasi, ada warga masyarakat yang sama sekali tidak melibatkan diri dalam kegiatan politik. Hal ini kebalikan dari partisipasi dan disebut apati (apathy).

Timbul pertanyaan: mengapa orang apatis? Ada beberapa jawaban. Mereka tidak ikut pemilihan karena sikap acuh tak acuh dan tidak tertarik pada, atau kurang paham mengenai masalah politik. Ada juga karena tidak yakin bahwa usaha untuk memengaruhi kebijakan pemerintah akan berhasil, dan ada juga yang sengaja tidak memanfaatkan kesempatan memilih karena kebetulan berada di lingkungan di mana ketidaksertaan merupakan hal yang dianggap biasa.

McClosky dalam tulisannya tersebut mengemukakan bahwa sikap apati ini malah dapat diartikan sebagai hal positif dibandingkan dengan masyarakat yang terlalu “aktif” sehingga menjurus ke pertikaian, fragmentasi, dan instabilitas sebagai manifestasi ketidakpuasan.

Sebaliknya, ada kemungkinan bahwa orang itu tidak ikut memilih karena berpendapat bahwa keadaan tidak terlalu buruk dan bahwa siapa pun uang akan dipilih tidak akan mengubah keadaan itu. Dengan demikian ia tidak merasa perlu memanfaatkan hak pilihnya. Jadi, “apatis” dalam pandangan ini tidak menunjuk pada rasa kecewa atau frustasi, tetapi malahan sebagai manifestasi rasa puas dan kepercayaan terhadap system politik yang ada

MEKANISME SOSIALISASI BUDAYA POLITIK

Mekanisme sosialisasi budaya politik mengandung pengertian berupa cara-cara atau teknik penanaman atau pembentukan nilai-nilai politik kepada individu atau anggota masyarakat untuk memperkuat dan mengarahkan orientasi politik yang telah ada dalam dirinya.
Menurut Robert Le Vine terdapat tiga mekanisme sosialisasi pengembangan budaya politik, yaitu:
  • Imitasi, yaitu proses sosialisasi melalui peniruan terhadap perilaku yang ditampilkan individu-individu lain, dan merupakan hal yang amat penting dalam sosialisasi pada masa kanak-kanak.
  • Instruksi, mengacu pada proses sosialisasi melalui proses pembelajaran baik secara formal (di sekolah), informal (pendidikan di keluarga) maupun dalam bentuk nonformal (diskusi-diskusi kelompok, organisasi, dll)
  • Motivasi, merupakan mekanisme proses sosialisasi yang dikaitkan dengan pengalaman individu pada umumnya yang secara langsung mendorong dirinya untuk belajar dari pengalaman-pengalamannya mengenai tindakan-tindakan yang sesuai dengan sikap-sikap dan pendapatnya sendiri.


Ketiga mekanisme di atas tidak akan bisa berjalan tanpa dibantu oleh agen-agen atau lembaga-lembaga yang bertugas menjalankan sosialisasi politik, yaitu keluarga, sekolah, partai politik, dan media lainnya.

Sabtu, 14 September 2013

MAKNA SOSIALISASI KESADARAN POLITIK

Budaya politik yang berkembang di masyarakat akan selalu berkaitan dengan kesadaran politik. Pada hakikatnya bidaya politik merupakan cerminan dari kesadaran politik suatu masyarakat terhadap system politik yang berlaku. Lalu apa sebenarnya kesadaran politik itu?
Kesadaran politik atau political awwarness menurut M. Taopan, merupakan proses batin yang menampakkan keinsyafan dari setiap warga Negara akan pentingnya urusan kenegaraan dalam kehidupan bernegara.

Kesadaran politik masyarakat tidak hanya diukur dari tingkat partisipasi dalam kegiatan pemilihan umum, akan tetapi diukur juga dari peran serta mereka dalam mengawasi atau mengoreksi kebijakan dan perilaku pemerintah selama memegang kekuasaan pemerintahan. setiap masyarakat mempunyai kesadaran politik yang berbeda-beda. Kesadaran politik masyarakat sangat tergantung pada latar belakang pendidikannya. Kesadaran politik dapat tercipta melalui sosialisasi politik (political socialization). Dengan kata lain kesadaran politik merupakan hasil dari sosialisasi politik yang dilakukan oleh agen-agen atau lembaga-lembaga sosialisasi politik.
Secara umum, sosialisasi politik dapat diartikan sebagai proses penanaman nilai-nilai politik yang dilakukan suatu generasi kepada generasi lain melalui berbagai media perantara seperti keluarga, sekolah, partai politik, media massa dan sebagainya supaya tercipta masyarakat yang memiliki kesadran politik.

Menurut Michael Rush dan Phillip Althoff, mengatakan bahwa sosialisasi politik adalah proses bagaimana memperkenalkan sistem politik pada seseorang dan bagaimana orang tersebut menentukan tanggapan serta reaksi-reaksinya terhadap gejala-gejala politik.
Fred. I Greenstein, menyatakan bahwa sosialisasi politik merupakan penanaman informasi, nilali-nilai, dan praktek-praktek politik yang disengaja dilakukan oleh badan-badan instruksional secara formal.

Senin, 02 September 2013

TIPOLOGI BUDAYA POLITIK

Budaya politik merupakan salah satu komponen terpenting dalam suatu system politik. Budaya politik menunjukkan cirri khas dari perilaku politik yang ditampilkan oleh individu yang terintegrasi dalam beberapa kelompok masyarakat ataupun suku bangsa. Oleh karena itu, budaya politik yang dimilikinya pun berbeda-beda.

Tipe-tipe Budaya Politik
Almond dan Powell membagi budaya politik ke dalam tiga tipe, yaitu budaya politik parochial, subjek (kawula), dan partisipan.

Budaya Politik Parokial (Parochial Political Culture)
Dalam kepustakaan-kepustakaan politik, budaya politik parochial sering diartikan sebagai budaya politik yang sempit. Dikatakan sempit karena orientasi individu atau masyarakat masih sangat terbatas pada ruang lingkup yang sempit. Orientasi dan peranan yang dimainkan masih terbatas pada lingkungan atau wilayah tempat ia tinggal. Dengan kata lain, persoalan-persoalan di luar wilayahnya tidak dipedulikannya,
Menurut Rusadi Kantaprawira, budaya politik parochial biasanya terdapat dalam system politik tradisional dan sederhana, dengan ciri khas yaitu belum adanya spesialisasi tugas atau peran, sehingga para pelaku politik belum memiliki peranan khusus. Dengan kata lain, satu peranan dilakukan bersamaan dengan peranan lain.
Di dalam budaya politik parochial, masyarakat tidak menaruh minat terhadap objek-objek politik secara sepenuhnya. Adapun yang menonjol dalam budaya politik parochial adalah adanya kesadaran kepada adat atau kepala suku. Sebagai pemimpin politik, kepala adat atau suku berperan juga sebagai pemimpin agama, dan pemimpin social.


Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam budaya politik parochial tidak dijumpai spesialisasi tugas dan peran dalam kegiatan ppolitik. Kalaupun mungkin ada, dalam intensitas atau kadar yang masih rendah, sehingga tingkat partisipasi politik masyarakatnya pun masih rendah.

Budaya Politik Subjek (Subject Political Culture)
Masyarakat atau individu yang bertipe budaya politik subjek telah memiliki perhatian dan minat terhadap system politik. Hal ini diwujudkan dengan berbagai peran poitk yang sesuai dengan kedudukannya. Akan tetapi peran politik yang dilakukannya masih terbatas pada pelaksanaan kebijakan-kebijakan pemerintah yang mengatur masyarakat. individu atau masyarakat hanya menerima aturan tersebut secara pasrah. Tidak ada keinginan atau hasrat untuk menilai, menelaah, atau bahkan mengkritisi setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.
Dalam budaya politik subej ini, individu atau masyarakat berkedudukan sebagai kaula atau dalam istilah Jawa disebut kawula gusti, artinya sebagai abdi/pengikut setia pemerintah/raja yang posisinya cenderung pasif.

Budaya Politik Partisipan (Participant Political Culture)
Dalam budaya politik partisipan individu atau masyarakat telah memiliki perhatian, kesadaran, minat serta peran yang sangat luas. Ia mampu memainkan peranan politik baik dalam proses input (yang berupa pemberian tuntutan dan dukungan) maupun dalam proses output (pelaksana, penilai, pengkritik kebijakan).
Daya kritis masyarakat sudah sepatutnya dibangun dan disempurnakan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan  bahwa daya kritis masyarakat yang sangat tinggi, akan menjadi alat control efektif terhadap berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh para pemegang kekuasaan. Dengan demikian, akan terciptanya kebijakan-kebijakan pemerintah yang menyentuh terhadap aspirasi, keinginan dan kepentingan masyarakat.

Rabu, 24 Juli 2013

BUDAYA POLITIK INDONESIA

Aktivitas suatu kelompok masyarakat selau menggambarkan budaya yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Kebudayaan tercermin salah satunya dalam perilaku manusia pada berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam aspek politik. Dalam kehidupan poltiik kebudayaan tercermin dalam konsep budaya politik. Pada dasarnya kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakt berbeda dengan masyarakat lainya, sehingga setiap masyarakat mempunyai budaya politik yang berbeda pula satu sama lainnya.


BUDAYA POLITIK
System politik suatu Negara selalu diliputi oleh berbagai perilaku politik yang ditampilkan oleh warga negaranya. Setiap perilaku yang ditamilkan mempunyai karakteristik tersendiri  yang berbeda satu sama lain. Perbedaaan tersebut salah satunya diseabkan oleh adanya perbedaan budaya politik yang dimiliki oleh setiap warga Negara berbeda dengan kelompoknya atau lingkungan tempat dia tinggal. Lalu apa sih budaya politik itu? Untuk mengetahui definisi dari budaya politik, kita uraikan dulu apa itu budaya dan politik.

Makna Budaya
Secara harfiah, kata budaya berasal dari bahasa Sansakerta, yaitu buddhayah, ialah bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Dengan demikian kebudayaa itu dapat diartikan hal yang bersangkutan dengan budi dan akal. Lalu, selain itu banyak pula para pakar yang memberikan batasan terhadap konsep budaya, diantaranya sebagai berikut:
  • Sir Edward Taylor menyebutkan bahwa kebudayan adalah kompleks keseluruhan pengetahuan, keyakinan, kesenian, moral, hokum, adat istiadat, dan semua kemampuan kebiasan yang lain yang diperoleh oleh seseorang sebagai anggota masyarakat.
  • Soerjono Soekanto, menyatakan bahwa budaya terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari pola-pola perilaku yang normative, yang mencakup segala cara atau pola-pola berfikir, merasakan dan bertindak.
  • Koentjaraningrat, mendefinisikan kebudayan sebagai keseluurhan gagasan dan karya yang harus dibiasakan dengan belajar, beserta keseluruhan dari asil budi dan kemampuannya.
  • Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardji, mengusulkan definisi kebudayaan sebagai suatu hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. karya masyarakat menghasilkan teknologi kebudayan kebendaan (material culture) yang diperlukan oleh masyarakat untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatannya serta hasilnya dapat diabadikan oada keperluan masyarakat. rasa yang meliputi jiwa manusia mewujudkan segala norma-norma dan nilai-nilai kemasyarakatan yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan dalam arti luas. Cipta merupakan kemampuan mental, kemampuan berfikir dari orang-orang yang hidup bermasyarakat dan yang antara lain menghasilkan filsafat serta ilmu-ilmu pengetahuan, baik yang berwujud teori murni, maupun yang telah disusun untuk diamalkan dalam kehidupan masyarakat.
  • Harsojo menyimpulkan bahwa kebudayaan meliputi seluruh kelakuan dan hasil kelakuan manusia, yang teratur oleh tata kelakuan yang harus didapatkannya dengan belajar dan yang semua tersusun dalam kehidupan masyarakat.

Berdasarkan pemaparan tentang pengertian budaya di atas, dapat dirumuskan kesimpulan budaya adalah segala sesuatu yang dipelajari, dialami, dan diwariskan bersama secara social yang melahirkan makna dan pandangan hidup yang akan mempengaruhi sikap dan tingkah laku para anggota suatu masyarakat.

Pengetian Politik
Secara harfiah kata politik berasal dari bahasa Yunani yaitu polis yang berarti kota yang berstatus negara kota. Dalam bahasa Arab, istilah politik diartikan sebagai siyasyah yang berarti strategi. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam system politik yang menyangkut proses penentuan dan pelaksanaan dari tujuan system politik tersebut.
Konsep politik mempunyai banyak arti tergantung dari sudut pandang yang dipakai oleh si pemberi definisi/batasan. Berikut ini pengertian konsep politik yang dikemukakan oleh para pakar ilmu politik.
  • Roger F. Soltau, menyatakan politik merupakan ilmu yang mempelajari Negara, tujuan-tujuan Negara dan lembaga-lembaga Negara yang akan melaksanakan tujuan-tujuan itu, dan hubungan antara Negara dengan warga negaranya serta Negara lain.
  • Harold Laswell, menyatakan politik adalah ilmu yang mempelajari pembentukan dan pembagian kekuasaan.
  • Joyce Mitchell berpendapat bahwa politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijaksanaan untuk masyarakat.
  • Karl W. Duetch menyatakan politik merupakan pengambilan keputusan melalui sarana umum.
  • Cheppy Hary Cahyono menyatakan bahwa  politik itu merupakan macam-macam kegiatan dalam system politik atau Negara yang menyangkut proses menentukan dan sekaligus melaksanakan tujuan-tujuan system itu.
  • Miriam Budiardjo berpendapat bahwa politik selalu menyangkut tujuan masyarakat dan bukan tujuan pribadi seseorang. Selain itu juga menyangkut kegiatan berbagai kelompok, termasuk partai politik dan berbagai kegiatan perseorangan.


Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa secara umum politik dapat diartikan sebagai berbagai macam kegiatan dalam suatu system politik/Negara yang menyangkut kemaslahatan hidup seluruh warga Negara. Politik pada dasarnya menyangkut tujuan-tujuan masyarakat, bukan tujuan pribadi. Untuk itu, politik sebagian besar menyangkut kegiatan partai politik dan organisasi kemasyarakatan, walaupun tidak menutup kemungkinan bagi kegiatan-kegiatan yang bersifat perseorangan.

PENGERTIAN BUDAYA POLITIK
Berikut ini beberapa contoh dari nilai-nilai budaya. Coba kalian perhatikan dengan seksama nilai-nilai manakah yang termasuk nilai budaya politik?
  • Tidak boleh melangkahi kakak dalam melangsungkan pernikahan
  • Tidah boleh membuang sampah sembarangan
  • Bekerja giat supaya pimpinan senang
  • Memilih partai politik yang sama dengan pimpinan supaya dinaikkan pangkat
  • Sebelum tidur hendaknya berdoa terlebig dahulu
  • Mengawasi jalannya pemerintahan karena merupakan tanggung jawab setiap warga Negara
  • Memberikan tanggapan terhadap penjelasan guru supaya mendapatkan perhatian lebih.
  • Mengikuti pemilihan umum supaya tidak dianggap sebagai warga Negara yang tidak bertanggung jawab.
  • Kebijakan pemerintah tidak perlu dikontrol karena kita hanyalah rakyat biasa yang tidak mempunyai kesukaan apapun.

Berdasarkan contoh di atas, kalian dapat mengidentifikasi nilai-nilai yang termasuk budaya politik? Jika telah berhasil mengidentifikasinya, kalian akan menggambarkan apa budaya politik itu?
Istilah budaya politik merupakan alih bahasa istilah the political culture. Sebagai suatu konsep, istilah ini diperkenalkan oleh Gabriel A. Almond dalam tulisannya yang berjudul  Comparative Political System pada tahun 1956. Tahun 1960-1970, Almond mengembangkan konsep budaya politik bersama Sidney Verba, mereka menghasilkan sebuah buku THE CIVIC CULTURE. Buku ini berisikan hal penelitian Almond dan Verba mengenai budya politik di lima negara, yaitu Amerika, Jerman, Inggris, Italia, dan Meksiko. Para pakar politik di Indonesia menerjemahkan konsep civic culture menjadi budaya politik atau kebudayan politik.
Pada umumnya budaya politik diartikan sebagai orientasi dasar suatu masyarakat terhadap sustu system politik. Untuk lebih mengkhususkan pengertian budaya politik, banyak pakar politik yang memberikan pendapatnya mengenai makna budaya politik, diantaranya:
  • Almond dan Powell, menyatakan bahwa budaya politik merupakan suatu konsep yang terdiri dari sikap, nilai-nilai dan keterampilan yang sedang berlaku bagi seluruh anggota masyarakat termasuk pola-pola kecenderungan khusus serta pola-pola kebiasaan yang terdapat pada kelompok-kelompok masyarakat.
  • Denis Kavanagh, berpendapat bahwa budaya politik dapat diartikan sebagai pernyataan untuk menyatakan lingkungan perasaan dan sikap dimana system politik itu berlangsung.
  • Jack C. Plano menyimpulkan bahwa budaya politik merupakan kumpulan pengetahuan yang membentuk pola tingkah laku terhadap pemerintah dan system politik dari suatu masyarakat acapkali diartikan sebagai tingkah laku politik dalam dimensi psikologis misalnya pada keyakinan perasaan, dan orientasi evaluative. Budaya politik merupakan produk pengalaman historis yang memperlancar proses sosialisasi setiap individu.

Dari uraian di atas, dapat diidentifikasi unsure-unsur yang membangun pengertian budaya politik, yaitu:
1. Orientasi masyarakat terhadap system politik dan pemerintah, yang mencakup:
  • Orientasi yang bersifat  kognitif. Orientasi ini menyangkut pemahaman dan  keyakinan individu terhadap system politik dan atributnya, seperti tentang ibukota Negara, lambing Negara, kepala Negara, batas-batas Negara, mata uang yang dipakai, dan sebagainya.
  • Orientasi yang bersifat afektif. Orientasi ini menyangkut ikatan emosional yang dimiliki oleh individu terhadap system politiknya.
  • Orientasi yang bersifat evaluative. Orientasi ini menyangkut kapasitas individu dalam rangka memberikan penilaian terhadap system politik yang sedang berjalan dan bagaimana peran individu di dalamnya.
2. Menekankan pada dimensi psikologis dan bersifat subjektif akan membentuk sikap dan perilaku politik yang khas sesuai dengan budaya politik yang melekat

Setelah menyimak penjelasan di atas, tentu saja kalian sudah memperoleh gambaran mengenai makna budaya politik itu. Nah, sekarang berdasarkan unsure-unsur yang membangun makna budaya politik di atas, coba fokuskan pemahaman kalian dengan merusmuskan pengertian budaya politik Indonesia!