Dari ketiga tipe budaya politik yang telah
diuraikan sebelumnya, budaya politik partisipan mempunyai pengaruh yang teramat
penting dalam pembangunan suatu bangsa di zaman seperti sekarang ini. Budaya
politik partisipan merupakan tipe budaya politik dimana dalam budaya politik
ini rakyat dapat mengevaluasi yang ditandai dengan dimilikinya kemampuan rakyat
dalam menilai dan mengontrol semua kebijakan dari pemegang kekuasaan.
Partisipasi politik secara umum berarti
keterlibatan seseorang/sekelompok orang dalam kegiatan politik.
Miriam Budiardjo mendefinisikan partisipasi
politik sebagai kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta
secara aktif dakan kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan
Negara secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah
(public policy).
Herbert McClosky, mengungkapkan bahwa
partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat
melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan
secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum.
Michael Rush dan Phillip Althoff,
mengatakan bahwa partisipasi politik ialah keterlibatan individu sampai pada
bermacam-macam tingkatan dalam system politik.
Menurut Samuel Huntington dan Joan M. Nelson,
mengidentifikasi lima bentuk partisipasi
politik, yaitu:
- Kegiatan pemilihan, yang mencakup memberikan suara, sumbangan untuk kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, mencari dukungan bagi seorang calon, atau melakukan tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil pemilihan.
- Lobbying, yaitu upaya-upaya perorangan atau kelompok untuk menghubungi pejabat pemerintah dan pemimpin politik dengan maksud untuk mempengaruhi keputusan mereka mengenai persoalan yang menyangkut banyak orang. Misalnya lobbying yang dilakukan anggota DPR, atau yang dilakukan tokoh masyarakat kepada pemerintah untuk mempercepat proses pembangunan di daerahnya.
- Kegiatan organisasi, yang menyangkut partisipasi sebagai anggota atau pejabat dalam organisasi dengan tujuan utamanya untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan pemerintah.
- Mencari koneksi, yaitu tindakan perorangan yang ditujukan terhadap pejabat-pejabat pemerintah biasanya dengan maksud memperoleh manfaat yang hanya dirasakan oleh sat orang atau beberapa orang saja.
Pengelompokkan hubungan hierarkis dari Rush dan
Althoff hampir sama dengan piramida partisipasi politik yang dikemukakan David
F. Rot dan Frank L. Wilson. Adapun bentuk piramida partisipasi politik adalah
sebagai berikut:
Anggota masyarakat yang berpartisipasi
dalam proses politik, misalnya melalui pemberian suara atau kegiatan lain,
terdorong oleh keyakinan bahwa melalui kegiatan bersama itu kepentingan mereka
akan tersalur atau sekurang-kurangnya diperhatikan, dan bahwa mereka sedikit
banyak dapat mempengaruhi tindakan dari mereka yang berwenang untuk membuat
keputusan yang mengikat. Dengan kata lain, mereka percaya bahwa kegiatan mereka
mempunyai efek politik (political efficacy).
Dari penjelasan tersebut, jelaslah bahwa
partisipasi politik erat sekali kaitannya dengan kesadaran politik, karena
semakin sadar bahwa dirinya diperintah, orang kemudian menuntut diberikan hak
suara dalam penyelenggaraan pemerintah. perasaan kesadaran seperti ini dimulai
dari orang yang berpendidikan, yang kehidupannya lebih baik, dan orang-orang
terkemuka. Pada mulanya di Eropa hanya elit masyarakat saja yang diwakili di
dalam perwakilan. Di Amerika, perempuan bari mempunyai hak suara setelah adanya
Amandemen ke-19 pada tahun 1920. Tetapi perlahan-lahan keinginan untuk
berpartisipasi menjangkau semua sektor masyarakat –laki-laki dan perempuan- dan
merek menuntun hak untuk bersuara.
Di negara-negara demokrasi umumnya dianggap
bahwa lebih banyak partisipasi masyarakat, lebih baik. Dalam alam pikiran ini
tingginya tingkat partisipasi menunjukkan bahwa wargan mengikuti dan memahami
masalah politik dan ingin melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan itu. Hal itu
juga menunjukkan bahwa rezim yang bersangkutan memiliki kadar keabsahan
(legitimacy) yang tinggi. Maka dari itu, pembatasan yang dimasa lalu sering
diberlakukan, seperti pembayaran pajakpemilihan (yang di Amerika Serikat pada
masa itu merupakan suatu tindakan efektif untuk membatasi partisipasi orang
kulit hitam), atau pemilihan hanya oleh kaum pria saja (perempuan swiss baru
mulai tahun 1972 diberi hak pilih), dewasa ini umumnya telah ditinggalkan.
Sebaliknya, tingkat partisipasi yang rendah
pada umumnya dianggap sebagai tanda yang kurang baik, karena dapat ditafsirkan
bahwa banyak warga tidak menaruh perhatian terhadap masalah kenegaraan. Lagi
pula dikhawatirkan bahwa jika pelbagai pendapat dalam masyarakat tidak
dikemukakan, pimpinan Negara akan kurang tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi
masyarakat, dan cenderung melayani kepentingan beberapa kelompok saja. Pada
umumnya partisipasi yang rendah dianggap menunjukkan legitimasi yang rendah
pula.
Menurut Herbert McClosky, Gabriel Almond,
Norman H. Nie dan Sidney Verba berpendapat bahwa partisipasi politik hanya
terbatas pada kegiatan sukarela saja, yaitu kegiatan yang dilakukan yang tanpa
paksaan atau tekanan dari siapa pun.
Kebanyakan di Negara komunis dan Negara
berkembang sulit sekali untuk membedakan antara kegiatan yang benar-benar sukarela
dan kegiatan yang dipaksakan secara terselubung, baik oleh penguasa maupun oleh
kelompok lain. Menurut Huntington dan Nelson membedakan antara partisipasi yang
bersifat otonom (autonomous participation) dan partisipasi yang dimobilisasi
atau dikerahkan oleh pihak lain (mobilized participation/regimented
participation).
Dalam hubungan ini mungkin dapat dikatakan
bahwa dalam hampir setiap kegiatan partisipasi ada unsure tekanan atau
manipulasi, akan tetapi di Negara-negara demokrasi Barat tekanan semacam ini
jauh lebih sedikit disbanding dengan di Negara-negara otoriter. Di
Negara-negara berkembang terdapat kombinasi dari unsure sukarela dan unsure
manipulasi dengan berbagai bobot dan takaran.
Ada pula pendapat bahwa partisipasi politik
hanya mencakup kegiatan yang bersifat positif. Akan tetapi Huntington dan
Nelson menganggap bahwa kegiatan yang ada unsure destruktifnya seperti
demonstasi, terror, pembunuhanpolitik, dan lain-lain merupakan suatu bentuk
partisipasi.
Di samping mereka yang ikut serta dalam
satu atau lebih bentuk partisipasi, ada warga masyarakat yang sama sekali tidak
melibatkan diri dalam kegiatan politik. Hal ini kebalikan dari partisipasi dan
disebut apati (apathy).
Timbul pertanyaan: mengapa orang apatis?
Ada beberapa jawaban. Mereka tidak ikut pemilihan karena sikap acuh tak acuh
dan tidak tertarik pada, atau kurang paham mengenai masalah politik. Ada juga
karena tidak yakin bahwa usaha untuk memengaruhi kebijakan pemerintah akan berhasil,
dan ada juga yang sengaja tidak memanfaatkan kesempatan memilih karena
kebetulan berada di lingkungan di mana ketidaksertaan merupakan hal yang
dianggap biasa.
McClosky dalam tulisannya tersebut
mengemukakan bahwa sikap apati ini malah dapat diartikan sebagai hal positif
dibandingkan dengan masyarakat yang terlalu “aktif” sehingga menjurus ke
pertikaian, fragmentasi, dan instabilitas sebagai manifestasi ketidakpuasan.
Sebaliknya,
ada kemungkinan bahwa orang itu tidak ikut memilih karena berpendapat bahwa
keadaan tidak terlalu buruk dan bahwa siapa pun uang akan dipilih tidak akan
mengubah keadaan itu. Dengan demikian ia tidak merasa perlu memanfaatkan hak
pilihnya. Jadi, “apatis” dalam pandangan ini tidak menunjuk pada rasa kecewa
atau frustasi, tetapi malahan sebagai manifestasi rasa puas dan kepercayaan
terhadap system politik yang ada